Gambar: doa-buka-puasa-sesuai-sunnah

Sahabat Ihram, bulan Ramadhan telah tiba di hadapan kita. Mari sambut dengan penuh suka cita. Bulan yang penuh ampunan, rahmat dan keberkahan ini menjadi kesempatan bagi seluruh muslim untuk memperbaiki dirinya, menjadi pribadi yang lebih baik lagi. 

Pada bulan yang mulia ini, Allah lipat gandakan pahala dari setiap amalan yang kita niatkan hanya Untuk-Nya. Termasuk berbuka puasa, merupakan amalan yang bernilai ibadah jika kita meniatkannya hanya untuk mendapat keridhoan Allah semata. 

Nah... setiap amalan itu dinilai dari niatnya, termasuk berbuka puasa ya Sahabat Ihram. Yang terpenting adalah amalan itu dilakukan belandaskan Al-Quran dan Sunnah Nabi. 

Seperti apa niat berbuka puasa sesuai sunnah ? Berikut ini penjelasan lengkapnya.

Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tentang doa berbuka puasa,

ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ

“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.”

"Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki". (HR. Abu Daud no. 2357)

Dalam hadits lengkapnya, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma, beliau mengatakan :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: «ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ

Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam, apabila beliau berbuka, beliau membaca : “Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.” (HR. Abu Daud 2357)

Maksud dari kata إذا أفطر yaitu setelah makan atau minum yang menandakan bahwa orang yang berpuasa tersebut telah "membatalkan" puasanya (berbuka puasa) pada waktunya. 

Oleh karena itu, doa ini tidak dibaca sebelum makan atau minum saat berbuka. Sebelum makan atau minum tetap membaca basmallah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, 

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858)

Dan, maksud ucapan وثَبَتَ اْلأَجْرُ yaitu "telah hilanglah kelelahan dan telah diperolehlah pahala", ini merupakan bentuk motivasi untuk kita agar bersemangat dalam beribadah. Maka, kelelahan hilang serta Allah ganti dengan pahala-pahala yang berlimpah yang ditetapkan bagi orang yang telah berpuasa hanya dengan mengharap ridho-Nya. 

Bagaimana dengan doa buka puasa yang telah beredar luas dan terkenal di masyarakat Indonesia ya Sahabat Ihram? 

Masih ingat doanya kan ?

 اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت

”Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”

Doa ini merupakan bagian dari hadits berikut ini :

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka).”

Ternyata hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yang dinilai dhaif oleh Syekh Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud. 

Penulis kitab Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan menuturkan," (Hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya (2/316, no. 358). Abu Daud berkata, 'Musaddad telah menyebutkan kepada kami, Hasyim telah menyebutkan kepada kami dari Hushain, dari Mu'adz bin Zuhrah, bahwasanya dia menyampaikan, 'Sesungguhnya jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan, 'Allahumma laka shumtu wa 'ala rizqika afthartu.'"

Mua'dz ini tidaklah dianggap sebagai perawi yang tsiqah, kecuali oleh Ibnu Hibban yang telah menyebutkan tentangnya di dalam Ats-Tsiqat dan dalam At-Tabi'in min Ar-Rawah, sebagaimana Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Tahdzib At-Tahdzib (8/224). 

Dan Ibnu Hibban dikenal oleh para ulama sebagai orang yang mutasahil, artinya orang yang bermudah-mudah dalam menshohihkan hadits.

Keterangan lainnya menyebutkan bahwa Mu'adz adalah seorang tabi'in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi'in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho'if karena sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho'if. 

Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perawi dho'if yaitu Daud bin Az Zibriqon, Ia adalah seorang perawi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho'if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho'if. Di antara ulama yang mendho'ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. 

Wallahu'alam